Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah tokoh penting
pada Masa Pergerakan Nasional dan Islam Modern di Indonesia. Lahir di daerah
bernama Bakur, Madiun, Jawa Timur pada tahun 1882. Dalam aliran darahnya
mengalir deras darah bangsawan yang taat beragama. Tjokroaminoto adalah salah
satu alumni Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, lulus pada tahun 1902.
Tjokroaminoto merupakan
seorang pemimpin SI (Sarekat Islam), Beliau juga adalah seorang guru dari
toko-tokoh besar bangsa kita, sebut saja tokoh-tokoh
tersebut diantaranya seperti Soekarno, Moeso, Kartowisastro, Abikoesno, dan
banyak lagi lainnya.[1] Tjokroaminoto memulai
karirnya di SI dengan menjadi pemimpin lokal didaerah Surabaya, sampai akhirnya
Ia menduduki posisi dipusat karena keahliannya dalam berpidato. Perlu kita
ketahui bahwa Tjokroaminoto
adalah seorang tokoh yang pawai berpidato, bahkan ada yang mengatakan bahwa
Soekarno hanyalah 1/3 dari Tjokroaminoto ditambah lagi
dengan kelebihannya yaitu “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar
ribuan orang tanpa mikrofon”.[2]
Seperti
dalam pidato Beliau saat berada di Bandung pada tahun 1916, dengan lantang
Tjokro mengatakan “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan
yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk
menganggap negeri ini sebagai sebuah tempat di mana orang datang dengan maksud
mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan
bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi tidak mempunyai hak untuk
berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasibnya
sendiri”.[3]
Dari
pidato diatas tergambar semangat Beliau yang menggelegar dan berapi-api dalam
membawakan orasinya didepan rakyat pribumi, dan juga apa yang sebenarnya
menjadi pemikiran dan pandangan Beliau terhadap Pemerintah Kolonial, dimana
beliau sangat menentang akan pemerintahan kolonial Belanda yang dianggapnya
keberadaan mereka di Indonesia tidak lain hanyalah untuk memeras keuntungan
dari Indonesia. Namun, meski sikap kerasnya yang menentang Pemerintah kolonial
Belanda, Tjokroaminoto tidak semerta-merta sepenuhnya menjadikan dirinya sebagai
pemberontak terhadap pemerintah, Beliau lebih memilih bergerak dalam jalur yang
masih dikehendaki atau masih dibawah payung Pemerintah kolonial (kooperatif).
Hal ini bertujuan agar organisasi yang dipimpinnya yaitu Sarekat Islam tetap
memiliki eksistensi dan tidak dibubarkan oleh Pemerintah kolonial.
Islam
sangat mempengaruhi alam pikiran dan tindakan Tjokroaminoto, dimana Islam
sebagai pedoman dan dikombinasikan dengan sosialisme yang menurut Tjokro wajib untuk
dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dimana sosialime yang dimaksud adalah
sosialisme yang berdasar kepada azaz-azaz Islam. Djadi didalam faham
“sosialisme” adalah berakar tjita-tjita jang nikmat, jaitu tjita-tjita: het
kameraadschappelijke (de kameraadschap) pertemanan-persahabatan, musaha-bah
atau mu’asjarah, kekantjan.[4]
Tjokro
menganggap Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sosialisme, oleh
karenanya meski Tjokro menganut sosialisme tetapi Beliau tetap berlandaskan
kepada Islam. Menurut Tjokro sosialisme hanyalah bisa menjadi sempurna, apabila
tiap-tiap manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja sebagai binatang
atau burung, tetapi hidup untuk keperluan masyarakat bersama, karena segala apa
saja yang ada hanyalah berasal atau dijadikan oleh satu kekuatan atau satu kekuasaan,
ialah Allah Yang Maha Kuasa.[5]
Oleh
karena itu sosialisme yang dimaksud oleh Tjokro adalah sosialis yang
berlandaskan ajaran Islam, bukan sosialis yang lebih mengarah kepada
komunis. Tjokro menganggap bahwa komunis
itu adalah Atheis, oleh karenanya Beliau menganggap komunis berbeda atau saling
bertolak belakang dengan SI yang berlandaskan Islam dan Beliau coba
membersihkan SI dari unsur-unsur komunis yang pada akhirnya malah membuat
gejolak tersendiri didalam tubuh SI, dimana Beliau mendapat kecaman dari
kelompok SI pro-komunis, salah satu tokoh yang melakukan kecaman tersebut
adalah HM Misbach yang menolak
dikotomi Islam-Komunis yang dianggapnya keduanya adalah sama, karena
memperjuangkan sama rata-sama rasa.[6]
Pemikiran
Beliau tersebut yang berusaha menyatukan Islam dengan sosialisme diduga sebagai
salah salah satu yang menjadi inspirasi dari lahirnya pemikiran Soekarno yang
sering kita kenal yaitu NASAKOM. Oleh karena pemikirannya yang mengaitkan
antara sosialisme dengan Islam membuat Tjokro dipandang oleh murid-muridnya
sebagai sosok yang berbeda-beda. Oleh karenanya murid-muridnya pun menangkap
apa yang diberikan oleh Tjokro pun dengan cara pemahaman yang berbeda pula. Walaupun dengan
pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan
pekerjaanya masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan
Muso-alimin sejatinya adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru
Tjokroaminoto. Hal ini mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid
terhadap guru dan kemudian mendorong kecenderungan yang berbeda pula.[7]
Dimana Muso-Alimin
lebih bergerak dibasis kiri (komunis) dan Kartosuwiryo yang bergerak dibasis
kanan (Islam) dan Soekarno yang lebih kearah Nasionalis, diantara
murid-muridnya itu mungkin hanya Soekarno yang dapat menangkap apa yang
sebenarnya menjadi pemikiran gurunya tersebut seperti yang telah disinggung
diatas, sehingga lahirnya konsep NASAKOM oleh Soekarno.
Dari
paparan diatas, penulis mencoba menarik kesimpulan bahwa Tjokroaminoto adalah
salah seorang tokoh yang menumbuhkan paham atau rasa nasionalisme di Indonesia,
dengan caranya yang mencetak para tokoh-tokoh besar yang dahulunya merupakan
murid Tjokro. Dalam melakukan gerakannya Beliau menggunakan Islam sebagai
landasannya. Meskipun disaat muda Beliau
hanya menjadikan Islam hanya sebagai simbolik, mengingat penganut Islam
merupakan yang mayoritas dikalangan penduduk pribumi guna menarik masa untuk
mencoba mempersatukan rakyat pribumi kala itu, jadi Islam tidak lain hanyalah
sebagai simbol pemersatu baginya untuk menuju Indonesia. Namun ketika memasuki
umurnya yang ke-40 Ia lebih memahami Islam lebih serius dan tidak lagi hanya
menjadikan Islam sebagai simbolik semata, terlihat seperti yang telah
disinggung penulis sebelumnya, yaitu usaha Beliau untuk membersihkan SI dari
unsur-unsur komunis yang kemudian dikecam oleh kelompok SI yang pro-komunis.
Namun bagaimanapun perubahan pada diri Tjokroaminoto yang terjadi, tujuan
utamanya adalah tetap untuk menuju Indonesia yang merdeka dan terlepas dari
segala hal yang berbau kapitalisme dan kolonialisme. Seperti dalam pemikiran
Sosialisme Islam yang diyakini olehnya yang menjadi pondasinya secara
fundamental,
yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty),
persamaan (gelijk-qualty), dan persaudaraan (broederchap-fraternity).
[8]
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Grafiti Press, 1997.
Tjokroaminoto, HOS. Sosialisme di dalam Islam,
dikutip dari Islam. Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad).
Jakarta: Madani Press. 2000.
Tjokroaminoto, O.S. Islam dan Sosialisme. Djakarta:
Lembaga Penggali Dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia Endang dan Pemuda.
1963.
Tjokroaminoto, HOS. Islam Dan Sosialisme. Bandung:
Sega Arsy. 2008.
Tashadi dkk. Tokoh-Tokoh Pemikir Paham
Kebangsaan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
1993.
Sumber
Internet :
[1] Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh
Pemikir Paham Kebangsaan. (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, 1993), Hlm 68.
[2] Takashi Shiraishi, Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press,
1997), hlm 72.
[3] HOS. Tjokroaminoto, Islam Dan Sosialisme (Bandung: Sega
Arsy, 2008), hlm 11.
[4] Tjokroaminoto, O.S, Islam dan
Sosialisme (Djakarta: Lembaga
Penggali Dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia Endang dan Pemuda, 1963),
Hlm 9.
[5] Ibid,. Hlm 72.
[6] Takashi Shiraishi, Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press,
1997), hlm 329.
[7] http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/24/sang-raja-tanpa-mahkota-hidup-dan-perjuangan-tjokroaminoto.
Di akses pada 8 Juni 2014.
[8] HOS. Tjokroaminoto, Islam Dan Sosialisme (Bandung: Sega
Arsy, 2008), hlm 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar