Kamis, 12 Juni 2014

Keadaan Ekonomi Masa Awal Reformasi


Pasca runtuhnya rezim orde baru, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk pemerintahan maka disaat itulah dimulainya masa reformasi dengan BJ Habibie sebagai kepala Negaranya. Krisis ekonomi yang mendera Indonesia dan semakin membawa kedalam keterpurukan. Keadaan ekonomi RI yang semakin merosot ini diibaratkan sebuah pesawat yang semakin lama semakin menukik dan akan menghempaskan pesawat yang tinggal menunggu waktu untuk hancur berkeping-keping. IMF pun mencoba memprediksikan bila ekonomi Indonesia masih akan terus menukik yang diindikasikan dengan pertumbuhan yang terus negative sampai akumulasinya pada akhir tahun 98 menacapi minus 10%-15%, ibflasi akan meningkat terus sampai akumulatif pada akhir tahun mencapai 80%-100%.
Pemerintah juga diancam bubar, karena pendapatan rutinnya tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran rutin.[1] Melihat keadaan tersebut, yang dianggap dapat menghindari pesawat RI (ekonomi Indonesia) terhempas berkeping-keping adalah industri kecil dan menengah yang  ternyata menjadi “bantal” dan “yang merupakan 75% dari industri nasional”, padahal ini tidak cocok dengan temuan Bappenas bahwa 0,21% dari jumlah perusahaan menyumbang 61,8% dari pembentukan PDB juga tidak cocok dengan kenyataan bahwa 95% dari jumlah utang luar negeri yang sekitar 80 miliyar dollar AS hanya diterima sekitar 50orang atau kelompok usaha.[2] Keadaan yang telah disebutkan diatas, maka Habibie mencoba mengambil langkah dengan menjalin kerjasama dengan IMF untuk meminta pinjaman. Hasilnya adalah tambahan utang oleh negara-negara dalam rangka IMF sebesar 6 milyar dollar AS dan bantuan CGI yang hampir 8 miliyar dollar AS.[3]
            Gagasan-gagasan yang dikeluarkan Habibie selanjutnya adalah dengan membuat Bank Indonesia menjadi independent dan beberapa gagasan lainnya dimana Beliau memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat. Selain yang telah disebutkan diatas, BJ Habibie juga melakukan beberapa langkah-langkah guna memecahkan masalah ekonomi yang mendera Indonesia, yaitu diantaranya sebagai berikut; Melakukan restrukturasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara. Karena dalam laporan BPPN tertanggal 15 mei 1998, sebagian dari isi laporannya menyatakan bahwa dana bank Indonesia yang telah digunakan oleh bank-bank dalam pengawasan BPPN (54 bank) per 12 Mei 1998 sudah mencapai Rp. 109,479 triliyun, ini merupakan sebuah laporan yang sangat mengejutkan. Setelah itu, ada pula pemberitaan yang sambil lalu; ada bank yang sudah keluar dan ada bank baru yang masuk ke dalam “perawatan” BPPN. Dana yang digunakan juga sudah menggelembung menjadi Rp.130 triliyun. Angka-angka tersebut diatas sangat mengejutkan dikarenakan betapa banyaknya uang rakyat yang telah dikorup habis-habisan ketika dalam masa pemerintahan orde baru; Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah; Menaikkan nilai tukar dollar hingga dibawah 10.000 bahkan sampai diakhir masa pemerintahannya Habibie, nilai tukar rupiah bisa mencapai level Rp.6.500 per dollar AS;  Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri; Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan IMF; Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan persaingan yang tidak sehat; Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.[4]





[1] Kian Gie. Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1999. Hlm 22
[2] Ibid hlm 26
[3] Ibid  hlm 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar