Pasca
runtuhnya rezim orde baru, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk
pemerintahan maka disaat itulah dimulainya masa reformasi dengan BJ Habibie
sebagai kepala Negaranya. Krisis ekonomi yang mendera Indonesia dan semakin
membawa kedalam keterpurukan. Keadaan ekonomi RI yang semakin merosot ini
diibaratkan sebuah pesawat yang semakin lama semakin menukik dan akan
menghempaskan pesawat yang tinggal menunggu waktu untuk hancur berkeping-keping.
IMF pun mencoba memprediksikan bila ekonomi Indonesia masih akan terus menukik
yang diindikasikan dengan pertumbuhan yang terus negative sampai akumulasinya
pada akhir tahun 98 menacapi minus 10%-15%, ibflasi akan meningkat terus sampai
akumulatif pada akhir tahun mencapai 80%-100%.
Pemerintah
juga diancam bubar, karena pendapatan rutinnya tidak mencukupi untuk membiayai
pengeluaran rutin.[1]
Melihat keadaan tersebut, yang dianggap dapat menghindari pesawat RI (ekonomi
Indonesia) terhempas berkeping-keping adalah industri kecil dan menengah
yang ternyata menjadi “bantal” dan “yang
merupakan 75% dari industri nasional”, padahal ini tidak cocok dengan temuan
Bappenas bahwa 0,21% dari jumlah perusahaan menyumbang 61,8% dari pembentukan
PDB juga tidak cocok dengan kenyataan bahwa 95% dari jumlah utang luar negeri
yang sekitar 80 miliyar dollar AS hanya diterima sekitar 50orang atau kelompok
usaha.[2] Keadaan
yang telah disebutkan diatas, maka Habibie mencoba mengambil langkah dengan
menjalin kerjasama dengan IMF untuk meminta pinjaman. Hasilnya adalah tambahan
utang oleh negara-negara dalam rangka IMF sebesar 6 milyar dollar AS dan
bantuan CGI yang hampir 8 miliyar dollar AS.[3]
Gagasan-gagasan yang dikeluarkan Habibie selanjutnya
adalah dengan membuat Bank Indonesia menjadi independent dan beberapa gagasan
lainnya dimana Beliau memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat. Selain yang
telah disebutkan diatas, BJ Habibie juga melakukan beberapa langkah-langkah
guna memecahkan masalah ekonomi yang mendera Indonesia, yaitu diantaranya
sebagai berikut; Melakukan restrukturasi dan rekapitulasi
perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan
unit Pengelola Aset Negara. Karena dalam laporan BPPN tertanggal 15 mei 1998,
sebagian dari isi laporannya menyatakan bahwa dana bank Indonesia yang telah
digunakan oleh bank-bank dalam pengawasan BPPN (54 bank) per 12 Mei 1998 sudah
mencapai Rp. 109,479 triliyun, ini merupakan sebuah laporan yang sangat
mengejutkan. Setelah itu, ada pula pemberitaan yang sambil lalu; ada bank yang
sudah keluar dan ada bank baru yang masuk ke dalam “perawatan” BPPN. Dana yang
digunakan juga sudah menggelembung menjadi Rp.130 triliyun. Angka-angka
tersebut diatas sangat mengejutkan dikarenakan betapa banyaknya uang rakyat
yang telah dikorup habis-habisan ketika dalam masa pemerintahan orde baru; Melikuidasi beberapa bank yang
bermasalah; Menaikkan nilai tukar dollar hingga
dibawah 10.000 bahkan sampai diakhir masa pemerintahannya Habibie, nilai tukar
rupiah bisa mencapai level Rp.6.500 per dollar AS;
Membentuk lembaga pemantau dan
penyelesaian masalah utang luar negeri; Mengimplementasikan reformasi ekonomi
yang diisyaratkan IMF; Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan persaingan yang tidak sehat; Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik.[4]
[1] Kian
Gie. Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 1999. Hlm 22
[2]
Ibid hlm 26
[3]
Ibid hlm 22
[4] http://wasisriyanto2903.blogspot.com/2013/01/kebijakanekonomi-yang-diterapkan-oleh.
diakases pada 4 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar