Pada
abad ke 19 terdapat 4 kerajaan di Nusantara yang berada di bawah kekuasaan
Hindia Belanda yang bertempat di Surakarta dan Yogyakarta diantaranya yaitu Keraton
Kesunanan dan Mangkunegara (Surakarta), Keraton Kesultanan dan pakualam
(Yogyakarta). Pada masa ini, abad ke 19 dan abad ke 20 dibagi atau
dikelompokkan menjadi 3 zaman, yaitu : Zaman modal pertama (zaman dimana
liberalism dan kapitalisme swasta masih berkembang yang mengacu pada UU Agraria
tahun 1870), zaman modal kedua (zaman dimana mulai
berkembangnya budaya membatik karena diperkenalkannya metode membatik), zaman modal modern (zaman kemajuan,
karena pada zaman ini banyak sekali kemajuan yang dialami baik dalam bidang pendidikan
dan lainnya)
Diantara
ke 3 zaman diatas ada masa yang disebut reorganisasi yaitu dimana Pemerintah
Belanda memperkenalkan reorganisasi yang berisi tindakan untuk membuat
perubahan diantaranya :
1.
Penghapusan sistem lungguh,
2.
Pembentukan desa sebagai unit administrasi,
3.
Pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani dan
4.
Perbaikan aturan sewa tanah
Sejak
zaman modal kedua yang membuat semakin berkembangnya batik maka semakin
berkembang pula produksi batik, hal yang demikian membuat kecemburuan dari para
pedagang Cina sehingga banyak sekali terjadi pencurian-pencurian batik. Oleh
karena dibentuklah perkumpulan ronda untuk menjaga batik-batik itu dari para
pencuri (Rekso Roemekso). Karena pada zaman itu tidak boleh bila ada organisasi
atau perkumpulan yang tidak mempunyai anggaran dasar, maka perkumpulan ini pun
segera membuat anggran dasarnya sebelum dibubarkan, dengan meminta bantuan Samanhoedi
dan bernaung dibawah Sarekat Dagang Islam yang kemudian organisasi ronda ini
menjadi bernama Sarekat Islam.
SI
meluas keseluruh pulau Jawa dan Madura dan membentuk SI-SI lokal. Perluasan SI
ini mempengaruhi posisi pemerintah terhadap SI maupun atas struktur
kepemimpinan SI. Mas Marco Kartodikromo merupakan anggota kaum muda bermaksud melancarkan perang suara
melalui Doenia Bergerak. Suaranya tegas dan tajam. Kekhasan Marco, ia dengan
terus terang menjelaskan semua itu. Itu tidak menunggu, seperti yang dilakukan
Tjokroaminoto. Doenia Bergerak terus diterbitkan dari pertengahan 1914 sampai
pertengan 1915. Marco menulis artikel dan memuat surat pembaca dalam Doenia
Bergerak dengan semangat berseru kita semua manusia. Memasuki masa zaman bergerak, banyak sekali terjadi aksi pemogokan, disini muncul Semaoen sebagai propagandis serikat buruh sebagai
raja mogok. Semaoen
berkampanye menentang milisi bumiputra, indie weerbaar dan keterlibatan SI
dalam Volksraad. Di bawah kepemimpinannya SI semarang meluas dengan cepat.
Kemunculan Semaoen dan Si Semarang
pada 1917-1918 semakin mengusik Tjokroaminoto. Kampanye Semaoen menentang Indie
Weerbaar dan partisipasi SI dalam Volksraad tahun 1917, membuat Tjokroaminoto
naik pitam, oleh karena itu Tjokroaminoto lantas mengubah nada bicaranya.
Tjokroaminoto melakukan beberapa tindakan yang pertama dilakukannya ialah
mendorong gerakan Djawa Dipa, kedua mencoba kembali menghimpun dukungan dengan
daya tarik islam, ketiga sambil menggerakkan semangat demokrasi dengan
memperjuangkan tujuan Djawa Dipa.
Pada akhir 1918 dan 1919 perjuangan
ekonomi didirikannya serikat-serikat buruh dan dilancarkannya pemogokan
terbukti berhasil. Pada masa itu buruh bumiputra bertambah resah karen inflasi
yang terus terjadi , sementara bisnis Belanda meraih keuntungan besar. Dengan
situasi yang menunjang ini, banyak pemogokan yang dilakukan dan serikat buruh
pun bermunculan.
Sejak akhir 1918,
gerakan SI muncul kembali dengan serikat buruh sebagai pelopornya. “perjuangan
ekonomi” yang disepakati pada kongres CSI 1918 hampir menjamin posisi unggul
Tjokroaminoto dalam CSI. Anak buah Tjokroaminoto, Sosrokardono dan Alimin,
mengontrol serikat buruh yang juga besar, yaitu PPPB.Pada kongres PPPB di
Bandung pada Mei 1919, mereka mengambil inisiatif mendirikan PPKB (Pesatoean
Perserikatan Kaoem Boeroeh).
Tjipto memulai
pergerakan anti raja pada bulan Juni 1919 yang mengkritik kebijakan Sunan
karena sistem feodalnya. Pergerakan ini disambut hangat oleh aktivis pergerakan
yang bersifat radikal. Tjipto melakukan kampanyenya melalui tulisan-tulisan
yang berisi kritik yang tajam terhadap sunan dalam Panggoegah dan dalam Volksraad. Dan yang jauh lebih penting lagi
bahwa Tjipto membimbing Insulinde / NISP-SH ke dalam perjuangan politik.
Dalam tulisannya ia
menginginkan Sunan di pensiunkan karena ia mengengap bahwa tidak ada gunanya
untuk memelihara Sunan karena hanya membuang-buang uang saja dan sama sekali tidak mensejahterakan kehidupan
para petani karena politik Sunan itu mandul dan tidak melakukan pergerakan sama
sekali.
Selain
Tjipto, hadir pula Misbach adalah seorang mubaligh karena dia seorang mubaligh
maka pengajarannya juga tentu masih berhubungan dengan keagamaan, ajarannya
yang menekankan dunia dan akhirat yang diajarkan kepada kelompoknya. Pihak
Belanda mengatakan bahwa Misbach adalah salah satu penyebab banyaknya
pemberontakan yang terjadi. Namun jika dipikirkan lebih dalam teori Misbach
seharusnya justru membuat warga-warga menjadi diam dan lebih berkonsentrasi
pada dunia akhirat dikarenakan ajarannya yang mengajarkan bahwa jangan takut
untuk menderita pada saat hidup di dunia karena masih ada kehidupan akhirat
yang akan lebih bahagia.
Selanjutnya adalah zaman
Reactie dan zaman partij yang memiliki suatu pemahaman baru yang dimiliki oleh
pemimpin-pemimpin pergerakan, mereka mulai memahami dalam suatu pergrakan,
dimana ada aksi yang dilakukan maka akan ada reaksi yang didapatkan.
Keberhasilan aksi mogok
yang dilakukan oleh PFB makin lama mendapatkan efek buruk, para majikan menyebarkan
foto tentang buruh yang melakukan aksi dan dipecat, sehingga mereka sulit
mendapatkna pekerjaan kembali,sehingga ini menimbulkan ketakutan. PFB meminta
kepada sindikat gulu untuk mengakuinya sebagai serikat buruh pabrik gula, namun
mereka menolak, usaha tidak sampai disitu mereka menggelar koferensi dan
kembali menuntut hak itu, mereka mengancam akan melakukan pemogokan umum
menjelang masa panen, hal itu pun tidak terjadi karena kurangnya dukungan dan
sikap pemerintah yang diaggap sudah tidak netral seperti di aksi-aksi pemogokan
sebelumnya.
.
Dengan ditumpasnya pemogokan 3 serikat buruh utama yang telah menjadi pemimpin
terdepan pergerakan dizaman pemogokan ini yaitu PFB, PPPB dan VSTP dihancurkan.
Hal ini menyatakan bahwa betapa bahayanya menyuarakan pikiran dan pemogokan.
Namun disisi lain PKI dan SI Merah sukses mengajak mereka yang masih berani
melawan pemerintah. PKI muncul sebagai kekuatan yang pengaruhnya melampaui
PSI/CSI. Pada zaman reaksi,zaman partai bangkit dan bersamaan denagn itu adanya
kemenangan PKI atas PSI/CSI.
Sekeluarnya
Misbach dari
penjara, Ia disambut meriah dalam Islam Bergerak dan Penggoegah. Islam Bergerak
menyebutnya "prajurit Islam" dan penggoegah menyebutnya
"Pahlawan". Untuk beberapa saat setelah kembali, Misbach tetap netral
menghadapi persaingan CSI-PKI dan mencoba mempelajari apa yang telah terjadi
dalam pergerakan selama ia dipenjara. Misbach tidak bisa terus-menerus netral
menghadapi pertikaian itu karena perpecahan sudah meluas sampah ke kalangan
mantan mubalig SATV.
Pertikaian
antara Islam Bergerak dengan Moehammadijah, telah menimbulkan anggapan bahwa
Moehammadijah adalah Islam kapitalis, dan SI adalah Islam komunis. Perpecahan
tajam ini terjadi akibat posisi moehammadijah dalam politik, yang ingin
menjadikan dirinya sebagai islam sejati. Yang mengakibatkan Misbach berpisah
dengan sekutunya yaitu Moehammadijah. Namun pepecahan ini tidak lantas
menyebabkan perpecahan dengan Tjokroaminoto dan CSI.
Dalam
konflik ini sebenarnya pertikaian yang terjadi itu berpusat pada soal apakah
seseorang bisa menjadi “Islam sedjati” apakah Moehammadijah semestinya
“bergerak” di “politik” dan apakah harus melawan pemerintah dan kapitalisme di
zaman modal dan di suatu negara yang dijajah oleh orang-orang nonmuslim.
Pada akhir tahun 1922 dimana zaman reaksi dan zaman partai berlangsung, Misbach berpisah dengan bekas sekutunya, Muhammadiyah dan pada maret 1923 Ia sudah muncul sebagai propagandis PKISI Merah dan berbicara mengenai keselarasan paham yang mendasar antara Islam dan Komunisme. Setelah menjadi pemimpin PKI singkat di Vorstenlanden, Ia dibuang ke Manokwari pada Juli 1924. Tidak lama sesudah Misbach dibuang ke Manokwari, hak berkumpul kembali diberlakukan di Kota Surakarta. Pemerintah Hindia sekarang sudah memutuskan sikap untuk menindas komunisme dan mengambil segala tindakan hukum, polisi, dan administrative untuk mencekik pergerakan.
Pada akhir tahun 1922 dimana zaman reaksi dan zaman partai berlangsung, Misbach berpisah dengan bekas sekutunya, Muhammadiyah dan pada maret 1923 Ia sudah muncul sebagai propagandis PKISI Merah dan berbicara mengenai keselarasan paham yang mendasar antara Islam dan Komunisme. Setelah menjadi pemimpin PKI singkat di Vorstenlanden, Ia dibuang ke Manokwari pada Juli 1924. Tidak lama sesudah Misbach dibuang ke Manokwari, hak berkumpul kembali diberlakukan di Kota Surakarta. Pemerintah Hindia sekarang sudah memutuskan sikap untuk menindas komunisme dan mengambil segala tindakan hukum, polisi, dan administrative untuk mencekik pergerakan.
Selanjutnya
Marco selalu memimpin vergadering dan lendenvergaderingen, serta mengemakan
suara pemimpin hoofdbestuur PKI yang mengomando. Openbare vergadering dan
ledenvergadering terbukti sangat sukses memobilisasi dukungan bagi PKI dan SR. Identitas
ideologis gerakan moe’alimin bersumber pada dua hal yang pertama gerakan itu
dipahami sebagai kelompok propagandis dan yang kedua identitas ideologis
gerakan moe’alimin bersumber pada gerakan islam revolusioner karena mempunyai
keyakinan berperang melawan fitnah dan tulisan-tulisan Misbach. Untuk melawan
kontrol-kontrol ketat pemerintah Hindia, PKI mengambil suatu keputusan untuk
melakukan pemberontakan di akhir 1925, namun pemberontakan itu gagal pada di
akhir tahun 1926 dan awal 1927, dan kemudian mereka mengalami keruntuhan dan
hancur. Dan pada akhirnya semua tokoh-tokoh penting PKI Surakarta Gerakan
Moe’alimin, dan Raad van Vakbonden dibuang ke Digul.
Sumber : Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1997.