Emansipasi Politik Kaum Borjuis
Pasca perang dunia I menimbulkan kebosanan
di Eropa karena ketentraman kondisi pada saat itu. Periode saat itu sungguh
sebagai tahap persiapan malapetaka yang muncul kemudian, periode ini yang
menandai mulainya imperialisme di Eropa dan juga dunia. Peristiwa penting yang
terjadi di Eropa sendiri pada periode imperialisme ini ialah emansipasi politik
kaum borjuis, yang hingga saat itu merupakan kelas pertama dalam sejarah yang
berhasil meraih keunggulan ekonomi tanpa punya minat untuk meraih kekuasaan
politis.
Dalam hal ini kaum borjuasi masih
menyerahkan semua keputusan politik kepada kepala negara, kecuali apabila
negaranya tersebut diaggap tidak bisa atau tidak cocok lagi untuk dijadikan
bagi wadah perkembangan tingkat laju ekonomi kapitalis yang sangat berpengaruh
bagi mereka. Dalam imperialisme ekspansi merupakan suatu bagian yang penting
berhubungan dengan pertumbuhan industri. Namun pertumbuhan industri (ekspansi
dalam aspek ekonomi terhalang oleh pembatasan-pembatasan negara), ini tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan kaum borjuis, dan karena dorongan ekonomi
inilah yang memaksa kaum borjuis untuk masuk dalam ranah politik. Hal lain juga yang membuat mengapa kaum
borjuis memasui ranah politik dikarenakan terjadinya krisis dan depresi, sehingga membuat seluruh lapisan masyarakat memasuki
orbit sistem produksi dan konsumsinya. Reaksi yang timbul daripada masalah
tersebut diatas adalah kejenuhan pasar dalam negeri, kurangnya bahan mentah,
dan meningkatnya krisis.
Dengan
kata lain, disparitas antara sebab dan akibat yang menandai kelahiran
imperialisme bukannya tanpa sebab. Kesempatan yang muncul, kekayaan yang
berlebihan yang ditimbulkan oleh akumulasi modal, yang memerlukan bantuan
“masa” (mob) untuk menemukan investasi yang aman dan menguntungkan menggerakkan
sebuah masyarakat borjuis, biarpun kekuatan itu tersembunyi dibalik
tradisi-tradisi yang lebih luhur dan dibalik kemunafikan yang “kudus”.
Pada
saat yang sama politik kekuasaan yang sama sekali tanpa prinsip tidak dapat
dijalankan hingga ada segerombolan besar orang yang tidak terkekang oleh
prinsip apapun dan yang jumlahnya sedemikian besar sehingga melampaui kemampuan
negara dan masyarakat untuk mengaturnya. Keyataannya bahwa “massa” (mob) ini
hanya dapat ditunggangi oleh para politisi imperialis dan hanya dapat
digerakkan oleh doktrin-doktrin rasial member kesan seakan-akan hanya
imperialisme saja yang mampu memecahkan masalah-masalah domestic, sosial, dan
ekonomi yang serius di zaman modern.
Sebagai
dampak daripada imperialis diatas pula yang juga menjadi salah satu faktor masuknya
kaum borjuasi masuk kedalam ranah politik, karena mereka juga beranggapan
dengan masuknya mereka ke ranah politik akan membantu mereka guna melindungi
hak-haknya.
Pemikiran Ras Sebelum Rasisme
Pemikiran ras dalam sejarah
sebenarnya telah berakar jauh di abad ke-18, baru kemudian disepanjang abad
ke-19 ini kembali bangkit serentak di semua negara barat. Rasisme sendiri sudah
merupakan ideologi yang berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan imperialisme
sejak fajar abad kita sekarang. Rasisme itu tentu saja sudah menyerap dan
menghidupkan lagi pola-pola lama dari opini-opini ras yang betapa pun juga dari
dirinya sendiri hampir-hampir takkan dapat berkembang atau dalam soal itu
merosot menjadi rasisme sebagai Weltanschauung atau ideologi.
Para ilmuwan juga turut mempunyai
atau mengambil peran yang berpengaruh dalam kekeliruan yang terjadi pada
perkembangan pemikiran-ras, misalnya dengan meneliti perkembangan masyarakat
dan kemudian muncul istilah “bangsa primitif”.
Kenyataannya bahwa rasisme merupakan
senjata ideologis utama dari politik imperialisme dan itu sagatlah jelas
terlihat sehingga tampak seakan-akan banyak peneliti lebih suka menghindari
jalur truism yang sudah lalu sering dilalui. Sebaliknya, kesalahpahaman lama
tentang rasisme sebagai semacam nasionalisme yang berlebihan masih tetap di
pegang teguh.
Pada abad ke-18 masyarakat Perancis
sudah mencoba untuk secara rohani menyerap kekayaan budaya dari negeri-negeri
yang letaknya di luar batas-batas Eropa, akan tetapi justru dalam abad dimana
rasa kebangsaan tumbuh dan juga di negeri dimana rasa cinta kemanusiaan tumbuh
inilah malah dikemudian hari menjadi benih-benih dan kemudian berkembang
menjadi kekuasaan rasisme yang menghancurkanleburkan bangsa dan menginjak-injak
kemanusiaan.
Diduga salah satu penyebabnya dari
salah seorang bangsawan Perancis, Comte de Boulainvilliers yang mencoba
menginterpretasikan sejarah Perancis. Menurutnya Perancis adalah bangsa yang
berasal dari dua bangsa yang berlainan pada awalnya, yaitu yang pertama berasal
atau berdarah Jerman dan yang berasal atau berdarah Gaules (Perancis asli).
Menjelang
revolusi, juru bicara feodalisme Perancis merasa demikian tidak aman sehingga
berniat menciptakan semacam Internationale kaum bangsawan yang berasal-usul
barbar. Dan karena kaum bangsawan Jerman merupakan satu-satunya pihak yang
bantuannya dapat diharapkan, maka disini pun dimunculkan anggapan bahwa nenek
moyang bangsa Perancis sebenarnya sama dengan nenek moyang bangsa Jerman dan
bahwa kelas-kelas bawah di Perancis meskipun mereka bukan lagi budak, tidak
dibebaskan oleh kelahiran melainkan oleh “affranchissment”, oleh kemurahan hati
kalangan mereka yang bebas karena kelahiran, oleh kaum bangsawan.
Baru kemudian setelah beberapa
tahun, para pengungsi Perancis itu benar-benar berusaha membentuk suatu
Internationale kaum aristocrat untuk mempertahankan diri dari pemberontakan
orang-orang yang mereka anggap sebagai bangsa asing yag diperbudak. Berbeda
dengan di Jerman yang tidaklah berkembang sebelum tentara Prusia yang lama kalah
oleh Napoleon. Karena pemikiran ras di Jerman tumbuh bersama dengan upaya-upaya
yang makan waktu lama dan jatuh bangun untuk menyatukan begitu banyak negara di
Jerman, maka pada tahap awalnya pemikiran ras di Jerman itu tetap berkaitan
erat dengan rasa kebangsaan yang lebih umum, sehingga agak sukar membedakan
nasionalisme yang murni dengan rasisme yang punya sosok.
Kondisi-kondisi khusus nasionalisme
Jerman ini baru berubah tatkala, sesudah tahun 1870, penyatuan bangsa
betul-betul tercapai dan rasisme Jerman, bersama-sama dengan imperialism
Jerman, berkembang secara penuh. Namun, tidak banyak cirri yang berasal dari
tahap-tahap awal itu yang masih bertahan untuk member sentuhan khas pada
pemikiran ras versi Jerman.
Semua berubah ketika terciptanya
suasana baru pesimistik yang merupakan kekuatan ideologis yang mampu menyatukan
semua faktor yang sudah ada ada sebelumnya serta opini-opini yang bertentangan
satu sama lain berkat karya Count Arthur de Gobineau “Essai sur I’Inegalite des
Races Humaines”.
Ras dan Birokrasi
Kaitan ras dengan birokrasi dalam
organisasi politik adalah yaitu ras sebagai prinsip lembaga politik dan
birokrasi sebagai prinsip dominasi di luar negeri. Meskipun bila kita lihat
tujuan rasisme dan birokrasi menunjukan adanya banyak keterkaitan, keduanya
ditemukan dan berkembang secara terpisah. Dalam sejarah kolonialnya hanya benua
hitam Afrika yang merupakan satu-satunya benua yang belum disentuh Eropa,
karena salah satu yang menjadi alasannya adalah terlalu miskin untuk
dieksploitasi, baru kemudian bangsa Eropa mencoba menjangkaunya ke benua hitam
tersebut.
Emas yang pada saat itu menjadi
sebuah hal yang penting nilainya, atau sangat berharga menjadikan emas menjadi
perebutan bagi orang-orang yang suka
berpetualang menelusuri negeri yang kaya akan bahan tambang. Untuk penambangan
sangat dibutuhkan tenaga yang dapat bekerja dengan cepat dan murah guna bisnis
perburuan emas tersebut. Oleh karenanya tidak lain tidak bukan benua hitam
Afrika lah yang mana disana berlimpah-ruah penduduk aslinya dan biaya upah atau
tenaganya yang murah yang menjadikan mereka kerap kali dijadikan atau
dipekerjakan menjadi budak-budak oleh orang-orang Eropa. Orang orang Eropa
hanya bekerja sebagai supervisor dan bahkan tidak menghasilkan tenaga terampil
dan insinyur yang kedua-duanya terus-menerus harus diimpor dari Eropa.
Kenyataan bahwa bisnis perburuan
emas tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dibiayai, diorganisir dan dikaitkan
dengan ekonomi Eropa lewat kekayaan yang ditimbun secara melimpah ruah dan
dengan bantuan para pemodal Yahudi.
Karakter daripada imperialisme ada
dua, yaitu yang pertama adalah reaksi sadar terhadap suku-suku yang martabat
kemanusiaannya memalukan atau dapat dikatakan manusia yang tak beradab (bangsa
barbar). Kedua, imperialisme timbul akibat dari konsekuensi dari administrasi
dengan mana orang-orang Eropa menguasai bangsa-bangsa asing yang dianggap jauh
dari mereka dan pada waktu yang sama membutuhkan perlindungan khusus.
Imperialisme Kontinental : Gerakan-Gerakan
PAN
Lahirnya
gerakan gerakan Pan tidak bersamaan dengan lahirnya imperialisme, sekitar tahun
1870, pan slavisme telah meninggalkan teori-teori yang kabur serta
membingungkan mengenai rasa cinta terhadap kebudayaan Slavia (Slavophile) dan
perasaan Pan-Jermanisme sudah lazim di Austria pada pertengahan abad ke-19.
Namun, perasaan tersebut terkristalisasikan dalam gerakan-gerakan dan mempesona
masyarakat luas hanya dengan ekspansi imperialis yang gemilang dari
bangsa-bangsa Barat era 1880an.
Pentingnya imperialis continental, berbeda
dari imperialisme perantauan, terletak pada kenyataan bahwa konsepnya tentang
ekspansi terpadu (kohesif) tidak menginzinkan adanya jarak geografis antara
metode serta lembaga-lembaga koloni dengan metode serta lembaga-lembaga
kebangsaan, sehingga tidak mengakibatkan efek boomerang agar tidak membuat
imperialisme itu sendiri beserta konsekuensi-konsekuensinya terasa di Eropa.
Imperialisme continental sungguh-sungguh mulai dikandang sendiri.
Sukuisme sama dengan imperialisme
kontinental, yaitu muncul sebagai nasionalisme dari bangsa-bangsa yang tidak
ikut dalam emansipasi nasional dan tidak mencapai kedaulatan suatu negara
kebangsaan. Dimanapun kedua frustasi itu dipadukan (imperialisme kontinental
dengan sukuisme), seperti yang terjadi di Austria Honggaria dan Rusia, maka
dengan sendirinya gerakan-gerakan Pan menemukan lahannya yang paling subur.
Nasionalisme kesukuan, kekuatan pendorong dibelakang imperialisme kontinental,
hanya memiliki sedikit kemiripan dengan negara-negara Barat yang telah berkembang
sepenuhnya.
Ketidakpedulian secara
terang-terangan terhadap hokum serta lembaga-lembaga legal dan pembenaran
ideologis terhadap tuna hukum (lawlessness) lebih merupakan cirri imperialisme
kontinental ketimbang imperialisme seberang lautan. Pelecehan terhadap hukum
merupakan cirri khas semua gerakan Pan kendati lebih nyaman dalam Pan-Slavisme
daripada dalam Pan-Jermanisme. Salah satu perbedaan mencolok antara pemerintah
birokrasi kuno dan bentuk totalitarisme terbaru ialah bahwa penguasa Rusia dan
Austria sebelum perang sudah puas dengan nasib lahiriah, serta membiarkan
seluruh kehidupan batin tak terjamah sehingga kemandulan politik dibawah
birokrasi kuno diikuti kemandulan total dibawah kekuasaan totaliter, tetapi
zaman yang melihat timbulnya gerakan Pan, masih tidak mengenal kemandulan total
ini.
Sedangkan perbedaan yang mencolok
dan amat penting antara imperialisme kontinental dan imperialisme seberang
lautan ialah bahwa keberhasilan dan kegagalan dari tahap awal kedua
imperialisme tersebut saling bertolak belakang. Kalau imperialisme kontinental
membuat permulaan imperialis terhadap negara kebangsaan dengan menghimpun dari
masyarakat diluar sistem partai dan selalu gagal mendapatkan hasil nyata dalam
ekspansinya, maka imperialisme seberang lautan dalam kegiatan bertubi-tubi yang
berhasil mencaplok wilayah-wilayah yang jauh letaknya, tidak pernah berhasil
dalam usaha merubah struktur-struktur politik di negara asalnya.
Ketika lahirnya gerakan-gerakan
berhasil bersaing dengan sistem partai negara kebangsaan dan dapat dilihat
bahwa mereka hanya dapat merongrong negara-negara dengan sistem multi-partai,
bahwa tradisi imperialis saja tidaklah cukup untuk menarik simpati missal.
Sejak timbulnyya sistem partai sudah barang tentu partai-partai diidentifikasikan
dengan kepentingan tertentu, kepentingan ekonomistis atau kepentingan lain dan
semua partai kontinental tidak semuanya kelompok sosialis, dengan terus terang
mengakui hal ini selama mereka yakin bahwa seuatu negara diatas partai-partai,
menggunakan kekuasaannya sedikit banyak untuk kepentingan semua.
Masalah dengan partai-partai
kontinental yang pada prinsipnya terpisah dari pemerintahan dan kekuasaan,
tidaklah karena partai-partai tersebut terjebak dalam kepentingan yang sempit,
tetapi karena malu dengan kepentingan ini dan oleh karena itu partai-partai
tersebut mengembangkan pembenaran yang menghantar setiap orang ke suatu
ideology yang menegaskan bahwa kepentingannya kebetulan sama dengan kepentingan
umum umat manusia.
Partai konservatif selain tidak puas
dengan membela kepentingan pemilikan tanah , tetapi juga membutuhkan suatu
filsafat yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk mengolah tanha
dengan keringat pada keningnya.
Sikap permusuhan gerakan-gerakan Pan
terhadap sistem partai mendapatkan arti praktis ketika setelah Perang Dunia I,
sistem partai tidak lagi menjadi perlengkapan kerja dan sistem kelas masyarakat
Eropa runtuh karena makin membeengkaknya massa yang seluruhnya terpuruk jadi
proletar melarat oleh kejadian perang. Lalu yang tampil ke depan bukan lagi
gerakan-gerakan Pan belaka, tetapi pengganti-pengganti yang totaliter yang
dalam beberapa tahun menentukan politik
partai-partai lain sedemikian rupa sehingga partai-partai tersebut menjadi
anti-Fasis atau anti-Bolshevik atau keduanya.
Merosotnya sistem partai kontinental
terjadi bersamaan dengan susutnya prestise negara kebangsaan homogenitas nasional sangat terganggu oleh
arus migrasi dan Perancis yang nation
par excellence, dalam waktu beberapa tahun sangat tergantung dari tenaga kerja
asing, kebijakan pembatasan imigrasi, tidak memadai untuk kebutuhan-kebutuhan
baru, masih jelas bahwa negara kebangsaan tidak mampu lagi mengahadapi isu-isu
politik penting pada waktu itu.
Surutnya Negara-Kebangsaan dan Berakhirnya
Hak-Hak Manusia
Tanggal 14 agustus 1914 terjadi
ledakan yang pertama kali menimbulkan serangkaian reaksi yang membelenggu dan
tidak dapat dibendung oleh siapapun, yaitu terjadinya perang dunia I yang mana
meledakan bangsa-bangsa Eropa tanpa dapat dipulihkan kembali, inflasi
menghancurkan seluruh kelas pemilik properti kecil tanpa ada harapan bisa pulih
kembali atau pembentukan baru, sesuatu yang tidak pernah dijamah oleh krisi
ekonomi radikal sebelumnya.
Kekacauan di Eropa terlihat seperti
percecokkan nasionalis sepele tanpa konsekuensi politik bagi nasib Eropa.
Dengan timbulnya golongan tuna negara yang terdampar di Eropa Timur dan Eropa
Selatan dan golongan tuna negara yang terdampar di Eropa Tengah dan Barat, maka
diperkenalkanlah unsur baru disintegrasi Eropa pasca perang. Pencabutan
kewarganegaraan menjadi senjata ampuh politik totaliter, dan ketidakmampuan
konstitusional negara kebangsaan Eropa untuk menjamin hak-hak asasi manusia bagi
mereka yang telah kehilangan hak-hak yang secara nasional telah dijamin, memungkinkan
pemerintah yang memaksakan standar nilai mereka bahkan terhadap kaum oposan.
Di Eropa kaum minoritas memiliki
ruang gerak yang sangat sempit, oleh karenaya untuk mempertahankan status quo
mereka di Eropa, mereka melakukan gerakan-gerakan revolusioner yang berusaha
mendapatkan pengakuan serta partisipasi dalam urusan publik.
Lebih daripada itu ada masalah yang
sebenernya jauh lebih sulit untuk dipecahkan, yaitu keadaaan tuna negara. Tidak diakuinya
ketunageraan berarti repatriasi, dimana dilakukannya deportasi ke negara asal,
yang entah menolak mengakui calon repatrian sebagai seorang warga negara, atau
menginginkannya pulang kembali untuk mendapat hukuman.
Akibat dari pada repatriasi membuat
kekacauan di Eropa karena kegagalan yang terjadi baik di negara asal ataupun
negara lainnya yang enggan menerima orang tuna negara. Kekacauan juga
disebabkan oleh hal lain seperti naturalisasi yang gagal. Baru setelah
deklarasi hak-hak manusia pada ke-18 yang merubah dan merupakan titik balik
dalam sejarah.
Karena tuna negara yang tidak
diterima di negara manapun membuat mereka kehilangan beberapa hak yang
seharusnya setiap manusia dapatkan, yaitu pertama kehilangan hak untuk
bertempat tinggal, mereka tidak diakui di kampong halaman. Kedua, kehilangan hak
untuk hukum karena tak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar