Kamis, 12 Juni 2014

ASAL – USUL TOTALITARISME (Jilid II) Imperialisme


 Emansipasi Politik Kaum Borjuis
            Pasca perang dunia I menimbulkan kebosanan di Eropa karena ketentraman kondisi pada saat itu. Periode saat itu sungguh sebagai tahap persiapan malapetaka yang muncul kemudian, periode ini yang menandai mulainya imperialisme di Eropa dan juga dunia. Peristiwa penting yang terjadi di Eropa sendiri pada periode imperialisme ini ialah emansipasi politik kaum borjuis, yang hingga saat itu merupakan kelas pertama dalam sejarah yang berhasil meraih keunggulan ekonomi tanpa punya minat untuk meraih kekuasaan politis.
            Dalam hal ini kaum borjuasi masih menyerahkan semua keputusan politik kepada kepala negara, kecuali apabila negaranya tersebut diaggap tidak bisa atau tidak cocok lagi untuk dijadikan bagi wadah perkembangan tingkat laju ekonomi kapitalis yang sangat berpengaruh bagi mereka. Dalam imperialisme ekspansi merupakan suatu bagian yang penting berhubungan dengan pertumbuhan industri. Namun pertumbuhan industri (ekspansi dalam aspek ekonomi terhalang oleh pembatasan-pembatasan negara), ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan kaum borjuis, dan karena dorongan ekonomi inilah yang memaksa kaum borjuis untuk masuk dalam ranah politik.  Hal lain juga yang membuat mengapa kaum borjuis memasui ranah politik dikarenakan terjadinya krisis dan depresi,  sehingga membuat seluruh lapisan masyarakat memasuki orbit sistem produksi dan konsumsinya. Reaksi yang timbul daripada masalah tersebut diatas adalah kejenuhan pasar dalam negeri, kurangnya bahan mentah, dan meningkatnya krisis.
Dengan kata lain, disparitas antara sebab dan akibat yang menandai kelahiran imperialisme bukannya tanpa sebab. Kesempatan yang muncul, kekayaan yang berlebihan yang ditimbulkan oleh akumulasi modal, yang memerlukan bantuan “masa” (mob) untuk menemukan investasi yang aman dan menguntungkan menggerakkan sebuah masyarakat borjuis, biarpun kekuatan itu tersembunyi dibalik tradisi-tradisi yang lebih luhur dan dibalik kemunafikan yang “kudus”.
Pada saat yang sama politik kekuasaan yang sama sekali tanpa prinsip tidak dapat dijalankan hingga ada segerombolan besar orang yang tidak terkekang oleh prinsip apapun dan yang jumlahnya sedemikian besar sehingga melampaui kemampuan negara dan masyarakat untuk mengaturnya. Keyataannya bahwa “massa” (mob) ini hanya dapat ditunggangi oleh para politisi imperialis dan hanya dapat digerakkan oleh doktrin-doktrin rasial member kesan seakan-akan hanya imperialisme saja yang mampu memecahkan masalah-masalah domestic, sosial, dan ekonomi yang serius di zaman modern.
Sebagai dampak daripada imperialis diatas pula yang juga menjadi salah satu faktor masuknya kaum borjuasi masuk kedalam ranah politik, karena mereka juga beranggapan dengan masuknya mereka ke ranah politik akan membantu mereka guna melindungi hak-haknya.


Pemikiran Ras Sebelum Rasisme
            Pemikiran ras dalam sejarah sebenarnya telah berakar jauh di abad ke-18, baru kemudian disepanjang abad ke-19 ini kembali bangkit serentak di semua negara barat. Rasisme sendiri sudah merupakan ideologi yang berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan imperialisme sejak fajar abad kita sekarang. Rasisme itu tentu saja sudah menyerap dan menghidupkan lagi pola-pola lama dari opini-opini ras yang betapa pun juga dari dirinya sendiri hampir-hampir takkan dapat berkembang atau dalam soal itu merosot menjadi rasisme sebagai Weltanschauung atau ideologi.
            Para ilmuwan juga turut mempunyai atau mengambil peran yang berpengaruh dalam kekeliruan yang terjadi pada perkembangan pemikiran-ras, misalnya dengan meneliti perkembangan masyarakat dan kemudian muncul istilah “bangsa primitif”. 
            Kenyataannya bahwa rasisme merupakan senjata ideologis utama dari politik imperialisme dan itu sagatlah jelas terlihat sehingga tampak seakan-akan banyak peneliti lebih suka menghindari jalur truism yang sudah lalu sering dilalui. Sebaliknya, kesalahpahaman lama tentang rasisme sebagai semacam nasionalisme yang berlebihan masih tetap di pegang teguh.
            Pada abad ke-18 masyarakat Perancis sudah mencoba untuk secara rohani menyerap kekayaan budaya dari negeri-negeri yang letaknya di luar batas-batas Eropa, akan tetapi justru dalam abad dimana rasa kebangsaan tumbuh dan juga di negeri dimana rasa cinta kemanusiaan tumbuh inilah malah dikemudian hari menjadi benih-benih dan kemudian berkembang menjadi kekuasaan rasisme yang menghancurkanleburkan bangsa dan menginjak-injak kemanusiaan.
            Diduga salah satu penyebabnya dari salah seorang bangsawan Perancis, Comte de Boulainvilliers yang mencoba menginterpretasikan sejarah Perancis. Menurutnya Perancis adalah bangsa yang berasal dari dua bangsa yang berlainan pada awalnya, yaitu yang pertama berasal atau berdarah Jerman dan yang berasal atau berdarah Gaules (Perancis asli).
Menjelang revolusi, juru bicara feodalisme Perancis merasa demikian tidak aman sehingga berniat menciptakan semacam Internationale kaum bangsawan yang berasal-usul barbar. Dan karena kaum bangsawan Jerman merupakan satu-satunya pihak yang bantuannya dapat diharapkan, maka disini pun dimunculkan anggapan bahwa nenek moyang bangsa Perancis sebenarnya sama dengan nenek moyang bangsa Jerman dan bahwa kelas-kelas bawah di Perancis meskipun mereka bukan lagi budak, tidak dibebaskan oleh kelahiran melainkan oleh “affranchissment”, oleh kemurahan hati kalangan mereka yang bebas karena kelahiran, oleh kaum bangsawan.
            Baru kemudian setelah beberapa tahun, para pengungsi Perancis itu benar-benar berusaha membentuk suatu Internationale kaum aristocrat untuk mempertahankan diri dari pemberontakan orang-orang yang mereka anggap sebagai bangsa asing yag diperbudak. Berbeda dengan di Jerman yang tidaklah berkembang sebelum tentara Prusia yang lama kalah oleh Napoleon. Karena pemikiran ras di Jerman tumbuh bersama dengan upaya-upaya yang makan waktu lama dan jatuh bangun untuk menyatukan begitu banyak negara di Jerman, maka pada tahap awalnya pemikiran ras di Jerman itu tetap berkaitan erat dengan rasa kebangsaan yang lebih umum, sehingga agak sukar membedakan nasionalisme yang murni dengan rasisme yang punya sosok.
            Kondisi-kondisi khusus nasionalisme Jerman ini baru berubah tatkala, sesudah tahun 1870, penyatuan bangsa betul-betul tercapai dan rasisme Jerman, bersama-sama dengan imperialism Jerman, berkembang secara penuh. Namun, tidak banyak cirri yang berasal dari tahap-tahap awal itu yang masih bertahan untuk member sentuhan khas pada pemikiran ras versi Jerman.
            Semua berubah ketika terciptanya suasana baru pesimistik yang merupakan kekuatan ideologis yang mampu menyatukan semua faktor yang sudah ada ada sebelumnya serta opini-opini yang bertentangan satu sama lain berkat karya Count Arthur de Gobineau “Essai sur I’Inegalite des Races Humaines”.

Ras dan Birokrasi
            Kaitan ras dengan birokrasi dalam organisasi politik adalah yaitu ras sebagai prinsip lembaga politik dan birokrasi sebagai prinsip dominasi di luar negeri. Meskipun bila kita lihat tujuan rasisme dan birokrasi menunjukan adanya banyak keterkaitan, keduanya ditemukan dan berkembang secara terpisah. Dalam sejarah kolonialnya hanya benua hitam Afrika yang merupakan satu-satunya benua yang belum disentuh Eropa, karena salah satu yang menjadi alasannya adalah terlalu miskin untuk dieksploitasi, baru kemudian bangsa Eropa mencoba menjangkaunya ke benua hitam tersebut.
            Emas yang pada saat itu menjadi sebuah hal yang penting nilainya, atau sangat berharga menjadikan emas menjadi perebutan bagi orang-orang  yang suka berpetualang menelusuri negeri yang kaya akan bahan tambang. Untuk penambangan sangat dibutuhkan tenaga yang dapat bekerja dengan cepat dan murah guna bisnis perburuan emas tersebut. Oleh karenanya tidak lain tidak bukan benua hitam Afrika lah yang mana disana berlimpah-ruah penduduk aslinya dan biaya upah atau tenaganya yang murah yang menjadikan mereka kerap kali dijadikan atau dipekerjakan menjadi budak-budak oleh orang-orang Eropa. Orang orang Eropa hanya bekerja sebagai supervisor dan bahkan tidak menghasilkan tenaga terampil dan insinyur yang kedua-duanya terus-menerus harus diimpor dari Eropa.
            Kenyataan bahwa bisnis perburuan emas tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dibiayai, diorganisir dan dikaitkan dengan ekonomi Eropa lewat kekayaan yang ditimbun secara melimpah ruah dan dengan bantuan para pemodal Yahudi.
            Karakter daripada imperialisme ada dua, yaitu yang pertama adalah reaksi sadar terhadap suku-suku yang martabat kemanusiaannya memalukan atau dapat dikatakan manusia yang tak beradab (bangsa barbar). Kedua, imperialisme timbul akibat dari konsekuensi dari administrasi dengan mana orang-orang Eropa menguasai bangsa-bangsa asing yang dianggap jauh dari mereka dan pada waktu yang sama membutuhkan perlindungan khusus.

Imperialisme Kontinental : Gerakan-Gerakan PAN
            Lahirnya gerakan gerakan Pan tidak bersamaan dengan lahirnya imperialisme, sekitar tahun 1870, pan slavisme telah meninggalkan teori-teori yang kabur serta membingungkan mengenai rasa cinta terhadap kebudayaan Slavia (Slavophile) dan perasaan Pan-Jermanisme sudah lazim di Austria pada pertengahan abad ke-19. Namun, perasaan tersebut terkristalisasikan dalam gerakan-gerakan dan mempesona masyarakat luas hanya dengan ekspansi imperialis yang gemilang dari bangsa-bangsa Barat era 1880an.
            Pentingnya imperialis continental, berbeda dari imperialisme perantauan, terletak pada kenyataan bahwa konsepnya tentang ekspansi terpadu (kohesif) tidak menginzinkan adanya jarak geografis antara metode serta lembaga-lembaga koloni dengan metode serta lembaga-lembaga kebangsaan, sehingga tidak mengakibatkan efek boomerang agar tidak membuat imperialisme itu sendiri beserta konsekuensi-konsekuensinya terasa di Eropa. Imperialisme continental sungguh-sungguh mulai dikandang sendiri.
            Sukuisme sama dengan imperialisme kontinental, yaitu muncul sebagai nasionalisme dari bangsa-bangsa yang tidak ikut dalam emansipasi nasional dan tidak mencapai kedaulatan suatu negara kebangsaan. Dimanapun kedua frustasi itu dipadukan (imperialisme kontinental dengan sukuisme), seperti yang terjadi di Austria Honggaria dan Rusia, maka dengan sendirinya gerakan-gerakan Pan menemukan lahannya yang paling subur. Nasionalisme kesukuan, kekuatan pendorong dibelakang imperialisme kontinental, hanya memiliki sedikit kemiripan dengan negara-negara Barat yang telah berkembang sepenuhnya.
            Ketidakpedulian secara terang-terangan terhadap hokum serta lembaga-lembaga legal dan pembenaran ideologis terhadap tuna hukum (lawlessness) lebih merupakan cirri imperialisme kontinental ketimbang imperialisme seberang lautan. Pelecehan terhadap hukum merupakan cirri khas semua gerakan Pan kendati lebih nyaman dalam Pan-Slavisme daripada dalam Pan-Jermanisme. Salah satu perbedaan mencolok antara pemerintah birokrasi kuno dan bentuk totalitarisme terbaru ialah bahwa penguasa Rusia dan Austria sebelum perang sudah puas dengan nasib lahiriah, serta membiarkan seluruh kehidupan batin tak terjamah sehingga kemandulan politik dibawah birokrasi kuno diikuti kemandulan total dibawah kekuasaan totaliter, tetapi zaman yang melihat timbulnya gerakan Pan, masih tidak mengenal kemandulan total ini.
            Sedangkan perbedaan yang mencolok dan amat penting antara imperialisme kontinental dan imperialisme seberang lautan ialah bahwa keberhasilan dan kegagalan dari tahap awal kedua imperialisme tersebut saling bertolak belakang. Kalau imperialisme kontinental membuat permulaan imperialis terhadap negara kebangsaan dengan menghimpun dari masyarakat diluar sistem partai dan selalu gagal mendapatkan hasil nyata dalam ekspansinya, maka imperialisme seberang lautan dalam kegiatan bertubi-tubi yang berhasil mencaplok wilayah-wilayah yang jauh letaknya, tidak pernah berhasil dalam usaha merubah struktur-struktur politik di negara asalnya.
            Ketika lahirnya gerakan-gerakan berhasil bersaing dengan sistem partai negara kebangsaan dan dapat dilihat bahwa mereka hanya dapat merongrong negara-negara dengan sistem multi-partai, bahwa tradisi imperialis saja tidaklah cukup untuk menarik simpati missal. Sejak timbulnyya sistem partai sudah barang tentu partai-partai diidentifikasikan dengan kepentingan tertentu, kepentingan ekonomistis atau kepentingan lain dan semua partai kontinental tidak semuanya kelompok sosialis, dengan terus terang mengakui hal ini selama mereka yakin bahwa seuatu negara diatas partai-partai, menggunakan kekuasaannya sedikit banyak untuk kepentingan semua.
            Masalah dengan partai-partai kontinental yang pada prinsipnya terpisah dari pemerintahan dan kekuasaan, tidaklah karena partai-partai tersebut terjebak dalam kepentingan yang sempit, tetapi karena malu dengan kepentingan ini dan oleh karena itu partai-partai tersebut mengembangkan pembenaran yang menghantar setiap orang ke suatu ideology yang menegaskan bahwa kepentingannya kebetulan sama dengan kepentingan umum umat manusia.
            Partai konservatif selain tidak puas dengan membela kepentingan pemilikan tanah , tetapi juga membutuhkan suatu filsafat yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk mengolah tanha dengan keringat pada keningnya.
            Sikap permusuhan gerakan-gerakan Pan terhadap sistem partai mendapatkan arti praktis ketika setelah Perang Dunia I, sistem partai tidak lagi menjadi perlengkapan kerja dan sistem kelas masyarakat Eropa runtuh karena makin membeengkaknya massa yang seluruhnya terpuruk jadi proletar melarat oleh kejadian perang. Lalu yang tampil ke depan bukan lagi gerakan-gerakan Pan belaka, tetapi pengganti-pengganti yang totaliter yang dalam beberapa tahun  menentukan politik partai-partai lain sedemikian rupa sehingga partai-partai tersebut menjadi anti-Fasis atau anti-Bolshevik atau keduanya.
            Merosotnya sistem partai kontinental terjadi bersamaan dengan susutnya prestise negara kebangsaan  homogenitas nasional sangat terganggu oleh arus migrasi  dan Perancis yang nation par excellence, dalam waktu beberapa tahun sangat tergantung dari tenaga kerja asing, kebijakan pembatasan imigrasi, tidak memadai untuk kebutuhan-kebutuhan baru, masih jelas bahwa negara kebangsaan tidak mampu lagi mengahadapi isu-isu politik penting pada waktu itu.

Surutnya Negara-Kebangsaan dan Berakhirnya Hak-Hak Manusia
            Tanggal 14 agustus 1914 terjadi ledakan yang pertama kali menimbulkan serangkaian reaksi yang membelenggu dan tidak dapat dibendung oleh siapapun, yaitu terjadinya perang dunia I yang mana meledakan bangsa-bangsa Eropa tanpa dapat dipulihkan kembali, inflasi menghancurkan seluruh kelas pemilik properti kecil tanpa ada harapan bisa pulih kembali atau pembentukan baru, sesuatu yang tidak pernah dijamah oleh krisi ekonomi radikal sebelumnya.
            Kekacauan di Eropa terlihat seperti percecokkan nasionalis sepele tanpa konsekuensi politik bagi nasib Eropa. Dengan timbulnya golongan tuna negara yang terdampar di Eropa Timur dan Eropa Selatan dan golongan tuna negara yang terdampar di Eropa Tengah dan Barat, maka diperkenalkanlah unsur baru disintegrasi Eropa pasca perang. Pencabutan kewarganegaraan menjadi senjata ampuh politik totaliter, dan ketidakmampuan konstitusional negara kebangsaan Eropa untuk menjamin hak-hak asasi manusia bagi mereka yang telah kehilangan hak-hak yang secara nasional telah dijamin, memungkinkan pemerintah yang memaksakan standar nilai mereka bahkan terhadap kaum oposan.
            Di Eropa kaum minoritas memiliki ruang gerak yang sangat sempit, oleh karenaya untuk mempertahankan status quo mereka di Eropa, mereka melakukan gerakan-gerakan revolusioner yang berusaha mendapatkan pengakuan serta partisipasi dalam urusan publik.
            Lebih daripada itu ada masalah yang sebenernya jauh lebih sulit untuk dipecahkan, yaitu  keadaaan tuna negara. Tidak diakuinya ketunageraan berarti repatriasi, dimana dilakukannya deportasi ke negara asal, yang entah menolak mengakui calon repatrian sebagai seorang warga negara, atau menginginkannya pulang kembali untuk mendapat hukuman.
            Akibat dari pada repatriasi membuat kekacauan di Eropa karena kegagalan yang terjadi baik di negara asal ataupun negara lainnya yang enggan menerima orang tuna negara. Kekacauan juga disebabkan oleh hal lain seperti naturalisasi yang gagal. Baru setelah deklarasi hak-hak manusia pada ke-18 yang merubah dan merupakan titik balik dalam sejarah.
            Karena tuna negara yang tidak diterima di negara manapun membuat mereka kehilangan beberapa hak yang seharusnya setiap manusia dapatkan, yaitu pertama kehilangan hak untuk bertempat tinggal, mereka tidak diakui di kampong halaman. Kedua, kehilangan hak untuk hukum karena tak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar